Selasa, 14 Agustus 2012

Surat Cinta


 oleh : kang Imam Al-Jabluk


Di sudut kota yang jarang terkena sengatnya matahari,
di ujung lekukan indahnya warna-warni pelangi, 
aku menyaksikan fenomena yang menyeret hati untuk mengagumi.
Sekian lama berlayar, adakalanya dermaga sesekali disinggahi, namun
wewangi tanah di pagi hari betapa terasa asing di hidungku, dan
keterasingan itu pula memojokkan diriku dari ramah-tamah,
tatkala pandangan mata menggenggam sesosok rona 
dari raut seorang wanita.
Sering kali lidah ini ingin memuji, namun
kekaguman hanya bisa diurai melalui mangsi hitam 
dan bulu unggas yang menari di atas kertas.

Lalu surat ini pun bercerita di setiap alinea 
yang tak mampu ku ucap,
karena keterbatasan pada awal sebuah pertemuan.

Banyak kata-kata yang merasuk pikiranku, 
namun aku tak mampu merangkainya satu persatu.
Aku menulis surat bukan berarti aku menulis sajak,
sebab tidak ada darah pujangga yang mengalir di nadiku.
Ketahuilah, di setiap eja yang kutuangkan adalah gugusan kata-kata 
dari luapan selaksa rasa.
Dan suatu ketika aku berjalan ke arah utara, 
aku mendekati gemuruh yang mengumandangkan adzan 
diantara jedanya peperangan,
dan di tengah riuhnya para pengungsi yang keletihan, 
aku bertanya pada sekelompok kembara yang diikat kepalanya,
"dimanakah aku bisa menemukan pelita yang takkan ku temui temaramnya?",
mereka menjawab, "tentu pada alamat yang kau tuju dalam isi suratmu",
maka aku segera memperbaiki isi tulisanku pada surat ini.

Aku menulis surat bukan berarti aku tak mampu bicara,
sebab aku harus menemui etikanya,
yang memaksaku membunuh rasa malu,
karena keberanian membuatku telanjang di tengah keramaian,
segala busana hanya sekedar tabir penutup kelemahanku saja,
namun rasa gentar tetap saja merajamku, sebab
terlalu berdebar jantungku untuk menemuimu,
terlalu bergetar bibirku untuk berbicara denganmu,
dan terlalu takut ku sesali sebuah pertemuan 
yang selalu berakhir karena singkatnya waktu,
maka aku menulis surat ini untuk mewakili ucapanku.

Aku menulis surat bukan berarti untuk memuji atau bahkan menyupahi,
namun kegelisahan yang menuntunku untuk ingin mengenali,
sebab kekaguman tak mampu kutuliskan, tapi hanya bisa ku rasakan.
Ketika mata ini menerjemahkan perangaimu
yang tersusun dari elemen estetik yang saling berpadu, 
aku melihat kelembutan senyum pepindan Dewi Mayang Arum,
sorotan mata memanja pepindan Dewi Subadra,
dan rambut hitam semiran batu kali pepindan Betari Sri Widowati,
lalu semua itu bersatu menjadi wujud yang terlihat mahal di mataku.
Lalu sebesit ego pun berbisik,
ingin rasanya ku gubah dunia ini untuk menyempit dan semuanya berada disini,
hidup bertetangga bersama, agar aku bisa mengenal sosok sempurna
dari kesederhanaan yang susah-payah aku cari.

Aku menulis surat bukan berarti aku tak mau menampakkan jati diri.
Di setiap alinea sengaja aku tak memperkenalkan diri, sebab
segala misteri di tempat fana ini, walau sesekali bersembunyi tetap saja akan terbeli.
Layar yang tertiup bayu jika tak tenggelam akan terus berdiri melaju untuk menghampiri,
demi sang ratna elok yang mengejar angsa sambil berlari,
di tanah hijau yang menghampar luas lukisan para petani.
Dan ketika surat ini telah menyampaikan segala isi dalam hati,
maka aku harus menyudahi rajutan kata yang ku jabarkan tak seperti puisi ini,
aku berharap surat ini menjadi media komunikasi untuk berkonsolidasi.
Asa dalam hati, surat tak berhenti sampai disini.

Untukmu, sang betari pagi.
Dari aku, sang pelancong anak negeri.


~~ Garut, Juli 2012 ~~