oleh : kang Imam
Al-Jabluk
Malam itu sapaan
dinginnya kabut menusuk tulang yang terbalut
Irama gigi yang
menggigil dan kulit yang mengerut
Membekukan hati yang
gebalau nan kalut
Kemelut hidup bagai
baju yang tak pernah rapi dan kusut
Menuntut raga menghibur
diri dengan nyanyian-nyanyian bisu namun banyak keluar busa dari mulut
Obor-obor redup,
kubangan lahar pun surut
Sejak saat itu tak
ada lentera dan aku terkurung, hidupku berantakan bagai terlepas dari ikatan
yang melekat di rambut
Sementara jarum jam
pun masih menjelajahi angka-angka yang disukai rembulan…
Engkau yang bernama
Ria hadir mengubah khayalan abstrak fikiran
Siluet-siluet
kehidupan kini seperti begitu nampak
Kehadiranmu
membuyarkan isu-isu khayalan kosong mengisi kehidupan temaram yang panjang
Kini gugusan lamunan
semua tertuju padamu seorang
Walau ku tahu
mencintaimu berarti harus berperang
Berperang seperti
mengulang kisah Ramayana yang bernaskah rumit dengan sekenario yang begitu
panjang dan menantang.
Dan panji-panji pun
membentang, saatnya aku harus pergi berjuang
Seakan berjuang
menjalani drama yang diselimuti renda-renda keangkuhanku dimana aku bisa
berubah menjadi seekor serigala bengis dan curang
Dan sewaktu-waktu aku
bisa terbunuh oleh tajamnya tikaman anak panah dari bidikan panah ku yang
berubah menjadi bumerang.
Ria, perasaanku
selalu gelisah dan tak betah berada dirumah
Dindingnya tak mampu
melindungi ku dari panas terik yang membakar kecemburuanku,
atapnya tak mampu
melindungiku dari terpaan hujan deras yang membasahi tangisan kesedihanku,
dan kekokohannya tak
mampu menyembunyikan ku dari terkaman serigala yang akan mencabik-cabik
estetika moralku
Aku kan tetap menanti
gugusan bintang paksina itu berjatuhan runtuh
Agar aku bisa meraih
segudang harapan yang semuanya tertuju padamu
Ria, hanya kau lah
yang dapat menolongku hijrah dari tempat perlindungan yang ku anggap asing ini
Ria, tuntunlah aku
untuk menuju kehidupanmu yang begitu indah bagai surau kecil ditengah kolam
yang mengalir dengan ikan-ikan yang berenang bermandikan susu
Tetapi Ria, aku
bertanya kepadamu, kebenaran apa yang meyakinkanku untuk berdiri tegak berjalan
dengan pasti menyeberang pada sebuah jembatan kusam nan rapuh yang terbuat dari
bambu?
Ketika kucuri cintamu
yang mungkin menjadi tabu
Yang kelak semua
dosa-dosa akan datang menghampiriku
Yang harus ku telan
walau dirasa ketir dan pilu
Lupakanlah…….
Sekalipun kau hanya
mimpi ketika ku terjaga dan melahirkan realita-realita yang tidak nyata,
Biarlah….
Kan kubiarkan semua
asa yang semu nan maya itu menjadi segara
Kelak airnya akan
membasuh hatiku yang membara
Ketika aku kehausan
diperjalanan menjadi seorang kembara
Yang akan selalu ku
sambangi sebagai syair pelipur lara
Tahukah kau ria?
Aku selalu
menyibukkan diri dengan membuat sajak dan puisi
Walau setiap bait
yang ku bacakan membuat orang menjadi tuli
Meski bukan pujian
tapi kebencian yang kau luapkan aku tak peduli
Setidaknya semua itu
jadi catatan yang tersimpan di naluri.
Ria, meski kau dan
aku berada dirimba yang berbeda tapi kita satu dalam atap langit yang sama.
Mati hari ini, mati
hari esok, terkubur dalam satu bumi
Sudah dulu ya Ria……